Nabi Muhammad pun menegaskan dan sekaligus mencontohkan dirinya sebagai orang yang sangat mencintai tamu tanpa membedakan ras, etnis, bahkan agama.
Bagi umat Islam, memuliakan tamu sudah merupakan suatu keharusan sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)
Dalam banyak kitab hadits dapat ditemukan suatu bab khusus tentang kemuliaan tamu (takrimudl dlaif). Suatu ketika Rasulullah kedatangan tamu kafir yang berjumlah sekitar 60 orang, 14 orang di antaranya dari kelompok Kristen Najran.
Baca juga: Bagaimana Menyikapi Perilaku Fitnah Ghibah Dan Mencaci Maki Orang Lain?
Rombongan tamu itu dipimpin oleh Abdul Masih. Rombongan ini diterima di masjid dengan penuh persahabatan. Bahkan menurut Muhammad ibn Ja'far ibn al Zubair, sebagaimana dikutip Abdul Muqsith dalam kitab As Sirah An Nabawiyyah, karya Ibn Hisyam, juz II, hlm 426-428, ketika waktu kebaktian tiba, rombongan tamu Rasulullah ini melakukan kebaktian di dalam masjid dengan menghadap ke arah timur. Beliau tidak membeda-bedakan tamu berdasarkan kelas dan status sosial.
Suatu ketika, Rasulullah menerima seorang tamu laki-laki Arab pegunungan, kira-kira semi-primitif. Tiba-tiba tamu tersebut beranjak ke sudut masjid lalu kencing berdiri disitu. Terang saja para sahabat marah dan bermaksud untuk memukulnya. Namun Rasulullah menahannya dan hanya memerintahkan agar kencingnya segera ditimbun dengan pasir.
Bahkan, pernah suatu ketika Rasulullah menerima tamu tidak diundang, seorang yang sudah lama dicari-cari oleh masyarakat karena terkenal sebagai tukang pembuat onar.
Salah seorang sahabat menghunuskan pedang untuk membunuh orang tersebut, tapi ditahan oleh Rasulullah sembari mengatakan, "Biarkan kita dengarkan apa maksud kedatangannya disini." Sang tamu pun menyadari kalau dia seorang penjahat dan telah melakukan berbagai macam dosa dan maksiat.
Lalu ia menjelaskan tentang tujuannya datang menjumpai Rasulullah, siapa tahu pada masa lalunya pernah mengerjakan suatu kebaikan, maka ia akan menghibahkan kebaikan itu kepada orang yang ditunjuk Rasulullah.
Semua sahabat yang hadir di masjid tertegun mendengarkan penjelasan itu. Akhirnya, kasus ini menyebabkan turunnya ayat 114 Surah Hud:
وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗاِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ
Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah). (QS. Huud ayat 114)
Dalam kasus lain, ketika Rasulullah sedang menjamu tamu dari pembesar Quraisy, tiba-tiba datang tamu lain yang kebetulan buta (Abdullah bin Ummi Maktum) lalu Rasulullah berpaling dari padanya demi menghargai pembesar Quraisy.
Peristiwa ini menjadi sebab turun ayat 1-2 Surah 'Abasa:
عَبَسَ وَتَوَلّٰىٓۙ اَنْ جَاۤءَهُ الْاَعْمٰىۗ
Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). (QS. 'Abasa ayat 1-2)
Kita sebagai umatnya Rasulullah, sudah sepatutnya mencontoh etika dan kepribadian Rasulullah dalam menjamu tamu. Tamu tidak pernah mengurangi jatah dan rezeki kita, bahkan para tamu dapat mengundang turunnya berkah dan rezeki dari langit.
Posting Komentar
Komentar yang Anda berikan dimoderasi. Jika sesuai dengan ketentuan, maka akan segera muncul.
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik dan santun serta tidak melakukan spamming.