Menyuguhkan makanan memiliki keutamaan yang besar, terutama bagi keluarga dan sahabat yang sedang bertamu. Imam Hasan bahkan mengungkapkan, setiap nafkah yang dikeluarkan oleh seorang laki-laki itu akan dihisab, kecuali nafkahnya kepada saudara-saudaranya dalam memberi makan. Karena sesungguhnya, Allah Ta'aalaa lebih pemurah dari pada menanyakan hal tersebut.
Para sahabat Rasulullah yang terbiasa berkumpul untuk membaca Al Quran, tidak berpisah kecuali setelah menikmati hidangan. Ali bin Abi Thalib Ra. pernah berkata, "Sungguh, aku berkumpul bersama saudara-saudaraku pada satu sho' makanan lebih aku cintai dari pada aku membebaskan seorang budak."
Meski pun demikian, Islam mengatur adab mengenai waktu masuknya makan dan tata cara menyuguhkan makanan. Tuntunan adab ini tercantum jelas pada firman Allah Ta'aalaa dalam Al Quran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ ۚ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ ۚ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). Tetapi, jika kamu diundang, maka masuklah; dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya, yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar." (QS Al Ahzab ayat 53)
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ayat ini turun pada tahun ketiga atau kelima Hijriyah. Ayat ini pun ditafsirkan dengan hadits yang diriwayatkan dari Imam Bukhari dan bersumber dari Anas bin Malik. Sebelum turunnya ayat tersebut, Rasulullah SAW menikahi Zainab binti Jahsy. Beliau pun mengundang sejumlah orang, lalu menjamu mereka. Mereka pun bercakap-cakap di majelis tersebut. Kemudian, Nabi SAW hendak bangkit sementara ada tamu yang masih duduk-duduk saja. Melihat keadaan tersebut, beliau terus bangkit. Ketika beliau bangkit, sebagian orang bangkit pula, tetapi masih ada tiga orang yang tetap duduk.
Nabi SAW datang dan hendak masuk (ke kamar pengantin), tetapi ternyata masih ada sejumlah orang yang masih duduk dan belum pergi. Tidak lama kemudian, mereka bangkit dan pergi. Anas ibnu Malik kemudian menghadap dan menceritakan kepada Nabi SAW bahwa mereka telah pergi. Nabi SAW bangkit hendak masuk dan Anas pergi mengikutinya. Tetapi, tiba-tiba beliau menurunkan hijab antara beliau dan Anas. Kemudian, turunlah ayat tersebut.
Ayat ini dimaksudkan agar seorang tamu tidak boleh menunggu makanan untuk disiapkan dan dihidangkan. Ketika seseorang lapar lalu bermaksud mendatangi saudaranya supaya diberi makan dan tidak menunggu waktu makan saudaranya, tidaklah mengapa. Hal ini bermakna pertolongan kepada saudaranya untuk mendapat pahala memberi makan.
Tamu dan tuan rumah juga terikat pada adab-adab menyuguhkan makanan. Tuan rumah seyogyanya tidak membebani diri dan menyuguhkan apa yang ada. Al Fudlail mengatakan, "Sesungguhnya, membuat orang kapok dengan membebankan diri ialah seseorang mengundang saudaranya lalu ia membebankan diri untuk saudaranya. Saudaranya pun kapok untuk kembali datang lagi kepadanya."
Salah satu bentuk membebani diri, yakni menyuguhkan semua yang dimilikinya, sehingga keluarganya jadi kekurangan. Hati mereka pun menjadi kecewa. Sebagaimana kisah pada masa sahabat. "Kami masuk ke rumah Jabir Ra., lalu ia menyuguhkan kami roti dan cuka serta berkata, 'Seandainya kita tidak dilarang untuk memaksakan diri, tentu aku akan memaksakan diri untuk (memberi suguhan yang lebih kepada) kalian.'"
Adab kedua, janganlah tamu mengusulkan atau menentukan sesuatu untuk hidangannya. Permintaan tamu itu bisa jadi membuat tuan rumah kesulitan untuk mengadakan hidangan tersebut. Jika tuan rumah menawarkan dua pilihan makanan kepadanya, hendaklah dia memilih makanan yang paling mudah di antara keduanya untuk disediakan tuan rumah. Jika ia mengetahui bahwa tuan rumah merasa gembira dengan usulnya karena memudahkan tuan rumah, pengajuan usul tidak dimakruhkan.
Berikutnya, tuan rumah boleh menyatakan keinginannya kepada saudaranya yang menjadi tamu. Dia pun bisa menanyakan kepada tamunya mengenai usulan itu. Bilamana tuan rumah merasa nyaman terhadap pendapat tamu, hal tersebut dinilai baik, mengandung pahala, beserta keutamaan.
Keempat, tuan rumah tidak pantas bertanya kepada tamu, "Apakah engkau mau kusuguhkan makanan?" Tetapi, seyogyanyalah ia langsung memberi suguhan jika memang memiliki makanan. Jika tidak dimakan, tuan rumah bisa mengangkatnya kembali.
Dalam Saripati Ihya Ulumiddin juga dijelaskan, "Ketika seseorang masuk untuk bertamu dan tidak mendapati tuan rumah, dia boleh untuk menyantap makanannya tanpa izin pemilik rumah. Selama dia meyakini dan percaya dengan ikatan persahabatan antara dirinya dengan tuan rumah. Dia pun mengetahui kegembiraan tuan rumah apabila menyantap makanannya." (Dikutip dari buku Saripati Ihya Ulumiddin karya Imam Al Ghazali yang disarikan Syekh Jamaluddin Al Qosimi).
Posting Komentar
Komentar yang Anda berikan dimoderasi. Jika sesuai dengan ketentuan, maka akan segera muncul.
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik dan santun serta tidak melakukan spamming.