La Helist, demikian penamaan lampu darurat itu diberikan. La Helist dapat menjadi solusi untuk masyarakat dalam kondisi darurat ketika terjadi pemadaman listrik di malam hari.
Pemberian nama La Helist sendiri memiliki kepanjangan Lampu Emergency Hemat Listrik.
Uniknya, kedua orang mahasiswa hebat ini adalah kakak beradik yang berasal dari Blora, Jawa Tengah. Mereka adalah Chaieydha Noer Hafiezha dari Pertanian UGM dan Fadhiela Noer Hafiezha dari Teknik Mesin UGM.
Keduanya menggunakan fitting lampu yang telah dimodifikasi. Sehingga, dapat menghasilkan lampu yang terangnya tidak berbeda dengan lampu yang memakai daya listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Fadhiela mengutarakan, pengembangan lampu emergency / darurat yang hemat energi ini terinspirasi oleh sebab terjadinya pemadaman listrik di daerah Blora sangat sering. Apalagi saat musim hujan yang menjadikan aktivitas masyarakat terganggu.
Dampaknya, masyarakat lebih sering menggunakan lilin untuk penerangan saat pemadaman listrik. Padahal, ia menekankan, pemakaian lilin mempunyai potensi kebakaran yang tinggi saat ditinggal tidur.
"Untuk itulah kami mengembangkan lampu darurat dari LED dan menggunakan batu baterai yang aman dan praktis," kata Fadhiela, di Kantor Humas UGM.
Lampu emergensi ini dibuat memanfaatkan material lokal dan mudah didapat di pasaran. Komponen yang menyusun La Helist diantaranya adalah lampu LED, fitting lampu, trafo ferit, resistor, transistor, sakelar, dan batu baterai.
Bagi Fadhiela, lampu ini tidak sulit dalam pembuatannya karena dari segi material terbilang sangat mudah didapat. Bahkan untuk ferit, komponennya dapat menggunakan limbah lampu yang sudah tidak terpakai.
Untuk menghidupkan lampu, ditenagai oleh energi dari baterai kecil tipe AA ukuran 1,5 volt yang biasa digunakan untuk baterai dan jam dinding. Lampu ini dikembangkan dalam dua jenis, dengan varian yang berdaya 3 dan 9 watt.
La Helist didesain secara minimalis dan dilengkapi dengan sakelar, sehingga dapat dibawa kemana-mana dan dapat dihidupkan kapan pun tanpa bergantung pada aliran listrik PLN. Selain hemat energi, lampu ini juga mampu menyala lebih dari 12 jam nonstop.
Lampu ini diklaim lebih aman dipakai dari pada penggunaan lilin, dan pasti bisa menjadi solusi yang baik untuk mengatasi masalah pemadaman listrik. Walaupun disebut sederhana, ia menjelaskan bahwa dalam pembuatan lampu butuh ketelitian dan kesabaran.
"Dalam sebulan kita produksi 500-1.000 lampu darurat," ujar Fadhiela.
Kini La Helist sudah diproduksi secara massal di Blora. Dalam produksinya, mereka ditunjang oleh empat rekan yang bertugas sebagai teknisi. La Helist dijual seharga Rp 50 ribu untuk lampu yang berdaya 3 watt dan Rp 60 ribu untuk lampu yang berdaya 9 watt.
"Pemesanan sudah menjangkau wilayah Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi," kata Chaiyedha.
Mereka berharap, dengan hadirnya lampu darurat ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Keduanya berencana untuk terus mengembangkan lampu yang salah satunya dengan menaikkan tegangan dari yang tadinya 1,5 volt menjadi 3 volt.
Selain itu, mereka juga akan mengembangkan lagi lampu hemat energi ramah lingkungan yang menggunakan baterai isi ulang. Tujuannya adalah tidak lain agar bisa digunakan untuk penerangan sehari-hari rumah tangga.
"Dengan adanya lampu darurat hemat listrik ini diharapkan bisa membantu masyarakat untuk mengatasi penerangan pada saat pemadaman listrik yang lebih aman dan lebih irit," ujar Chaiyedha.
Posting Komentar
Komentar yang Anda berikan dimoderasi. Jika sesuai dengan ketentuan, maka akan segera muncul.
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik dan santun serta tidak melakukan spamming.