Keberhasilan suatu lembaga pendidikan biasanya diukur dari keberhasilannya dalam menerapkan kedisiplinan. Hal tersebut kiranya masih tertanam dalam pemahaman masyarakat Indonesia sejak tiga puluhan tahun lalu sampai sekarang. Jadi ketika sekolah memiliki peraturan yang ketat dan menerapkan disiplin kuat, maka akan dikenal sebagai sekolah yang bagus dan unggul.
Banyak orang yang beranggapan bahwa penerapan kedisiplinan di sekolah berhubungan erat dengan hukuman terhadap peserta didiknya. Padahal keduanya tidak ada keterkaitan. Sebab penerapan kedisiplinan dengan hukuman terbukti hanya menghasilkan sikap disiplin yang semu yang timbul dari rasa ketakutan bukan dari kesadaran akan suatu peraturan tersebut.
Pada hakekatnya ada jalan tengah yang dapat diambil antara disiplin dan hukuman. Jalan tengah tersebut dapat diistilahkan dengan konsekuensi. Konsekuensi ini memposisikan peserta didik / siswa sebagai subyek. Setiap peserta didik / siswa yang menjadi subyek kedisiplinan diberi tanggung jawab yang luas dan dibatasi oleh konsekuensi tersebut.
Misalnya saja, peserta didik / siswa yang telat masuk sekolah maka ia dikenai konsekuensi pulang lebih lama dari peserta didik lainnya. Atau bisa juga dengan pemotongan waktu istirahat khusus untuknya.
Lalu jangan hanya sampai disitu saja, apabila peserta didik / siswa melakukan pelanggaran lebih dari dua kali, maka komunikasikan juga dengan orang tua siswa tersebut. Sebab tidak menutup kemungkinan pelanggaran itu diakibatkan oleh masalah dengan orang tuanya.
Biasanya dalam menangani siswa yang terlambat, pihak sekolah menerapkan cara dengan menutup dan mengunci pintu gerbang sekolah. Kiranya kebiasaan tersebut contoh yang sudah lazim diterapkan oleh banyak sekolah di sekitar kita. Setelah bel masuk dibunyikan, pintu gerbang langsung ditutup dan dikunci.
Siswa yang datang setelah ditutupnya pintu gerbang mereka tertahan di luar sekolah karena tidak bisa masuk. Dan secara otomatis siswa yang terlambat tersebut menjadi tontonan warga yang lewat di depan sekolah.
Padahal keterlambatan para siswa itu diakibatkan oleh berbagai sebab, belum tentu mereka semua itu merupakan siswa yang malas. Karena bisa jadi alasan mereka terlambat datang disebabkan oleh faktor cuaca atau keadaan lain yang tidak dapat dihindari.
Pihak sekolah dalam melakukan hal tersebut memang sangat beralasan. Penguncian pintu gerbang dianggap sebagai langkah penerapan kedisiplinan agar membuat peserta didik menjadi sadar bahwa datang tepat waktu merupakan hal yang penting di sekolah.
Namun apakah pihak sekolah sadar telah mempermalukan harga diri peserta didik mereka atas penguncian pintu gerbang tersebut? Bagaimana jika kerabat atau tetangga yang mengenalinya lewat di depan sekolah saat mereka tidak diperbolehkan masuk ke dalam sekolah karena gerbangnya pun dikunci?
Padahal kalau saja sekolah mau menerapkan konsekuensi pada siswa yang terlambat, sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan untuk menindaknya. Misalnya dengan memangkas jam istirahat atau menyuruh mereka berangkat sekolah di hari Sabtu atau Minggu ketika teman lainnya sedang libur.
Dengan begitu harga diri peserta didik / siswa tidak jatuh dan mereka akan semakin bertanggung jawab pada semua tindakan yang dilakukannya. Mereka juga akan semakin sadar bahwa konsekuensi yang diterapkan oleh sekolah memiliki tujuan untuk menyadarkannya dengan cara mengambil atau mengurangi hak istimewa mereka.
Berikut ini adalah beberapa perbandingan sifat dan akibat antara hukuman dan konsekuensi yang diterapkan kepada peserta didik / siswa:
HUKUMAN
1. Memposisikan siswa sebagai pihak yang tidak memiliki hak untuk bernegosiasi dan cenderung tidak berdaya. Guru sebagai pemberi hukuman adalah pihak yang sangat memegang kendali dan berkuasa atas apa yang dilakukannya terhadap siswa tersebut.2. Jenis dan kadarnya tidak menetu, tergantung guru. Apabila suasana hati guru tersebut sedang baik, maka siswa yang terlambat pun bisa saja dibiarkan, namun sebaliknya jika suasana hatinya sedang tidak baik.
3. Bisa diberikan berlipat ganda, apalagi jika siswa tersebut merupakan orang yang sering melanggar tata tertib sekolah.
4. Selalu bersifat ancaman dan memaksa. Lalu gurunya cenderung memberi label jelek terhadap siswa yang sering melanggar tata tertib sekolah.
KONSEKUENSI
1. Diberikan ketika ada pelanggaran yang terjadi dan disesuaikan berdasarkan pada peraturan yang telah disepakati bersama.2. Terhindar dari perilaku memberi label / cap baik atau buruk kepada peserta didik. Karena dengan pemberian label tersebut akan menimbulkan stigma tertentu pada diri siswa yang akan selalu melekat pada dirinya.
3. Menjadikan peserta didik akan bertanggung jawab pada setiap tindakan yang dilakukannya.
Hukuman yang banyak diterapkan sekolah kerap kali menjadi penyebab masalah yang berdampak buruk pada peserta didik. Bahkan tidak sedikit hukuman yang diterapkan menimbulkan tindak kekerasan terhadap peserta didik / siswa.
Demikianlah yang dapat Guru Abata sampaikan mengenai penerapan kedisiplinan di sekolah tanpa menggunakan kekerasan terhadap peserta didik. Semoga artikel tentang kedisiplinan di sekolah ini memberikan manfaat bagi kita semua. Aamiin...
Masyaa Allah.
BalasHapusArtikelnya membangun pa.
Ini bisa jadi bahan introspeksi diri,.👌
Masyaa Allah.
BalasHapusArtikelnya membangun untuk bahan introspeksi,,sebagai guru
Alhamdulillaah, jazakillaahu khoiron, Bu.
HapusPosting Komentar
Komentar yang Anda berikan dimoderasi. Jika sesuai dengan ketentuan, maka akan segera muncul.
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik dan santun serta tidak melakukan spamming.