Adalah Umair bin Wahab, mengetahui putra kesayangannya tertangkap kaum Muslimin membuatnya semakin geram dan sangat benci terhadap Rasulullah SAW. Resah dan gelisah selalu berkecamuk dalam batinnya siang dan malam. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan kaum Muslimin terhadap anak lelaki yang sangat disayanginya itu.
Hingga pada suatu hari, ia duduk bersama sahabat dekatnya yaitu Shafwan bin Umayyah, ia merupakan anak dari seorang pemimpin Quraisy. Ketika itu Shafwan juga dalam keadaan dirundung duka yang amat dalam karena belum menerima kenyataan bahwa ayahnya mati dalam Perang Badar melawan kaum Muslimin.
Di dekat Ka’bah, Umair dan Shofwan merenungkan bersama dengan menyebut nama-nama para pejuang Quraisy yang terbunuh dalam Perang Badar. Keduanya membicarakan tentang langkah apa yang harus ditempuh dalam melawan kaum Muslimin. Lalu di tengah pembicaraan Shofwan berkata, “Demi Allah, tidak ada kehidupan yang lebih baik setelah kematian para pahlawan Quraisy ini.”
“Demi Allah, memang benar begitu,” Kata Umair. “Benar sekali apa yang engkau katakan itu wahai Shafwan. Demi Allah, seandainya aku tak memiliki hutang yang sampai sekarang aku belum bisa melunasinya. Dan seandainya aku tak mempunyai tanggungan anak dan keluarga. Pasti aku akan mendatangi Muhammad, dan aku bunuh dia. Hatiku teramat pedih olehnya. Dia telah berani menahan anak yang kusayangi?”
Mendengar sahabatnya mengatakan hal itu dan dengan didorong perasaan dendam kepada Muhammad, akhirnya Shafwan berkata, “Baiklah, jika engkau benar-benar akan membunuh Muhammad, aku sanggup melunasi hutangmu. Dan keluargamu akan kuanggap sebagai keluargaku yang menjadi tanggunganku.”
Dengan mata yang berkaca-kaca Umair menyambut, “Benarkah begitu, wahai Shafwan?” “Mengapa tidak, aku ini anak pemimpin Quraisy, janganlah khawatir!” Umair menyahut, “Jika benar begitu, baiklah hal ini menjadi rahasia kita berdua dan tidak ada seorangpun yang mengetahui!” Shafwan menimpali, “Baiklah! Dan segera laksanakan!”
Kemudian mereka berdua pulang. Umair segera berkemas dan menyiapkan perlengkapan dengan pedang tajam yang telah dilumuri racun. Pada esok paginya, Umair berangkat seorang diri menuju Madinah.
Di Madinah, kedatangan Umair diketahui oleh Umar bin Khattab, sahabat Rasulullah yang sangat disegani dan ditakuti kaum Quraisy atas keberanian dan keahliannya dalam berperang. “Itu dia Umair bin Wahab, musuh Allah! Demi Allah, kedatangannya ini pasti dengan niat jahat. Dia yang mengerahkan orang banyak untuk memerangi kita di Badar!” kata Umar.
Mata Umar terus memperhatikan langkah unta yang ditunggangi Umair menuju masjid, dimana terdapat kaum Muslimin yang berkumpul. Umair memandang ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Muhammad. Setelah sampai di masjid, turunlah ia dengan pedang yang sudah dihunuskan dan berjalan menuju rumah Rasulullah.
Pada saat itu, Rasulullah sedang ada di dalam rumah. Dengan sigap Umar bergegas masuk ke dalam rumah, dan berkata dengan suara lantang, “Wahai Rasulullah, musuh Allah Umair bin Wahab datang dengan menghunuskan pedangnya.” Lalu Umar membawa masuk Umair menghadap Nabi. Umair sama sekali tidak berkutik saat pedangnya digenggam Umar. Ia merasa ketakutan ketika berhadapan dengan Umar.
Rasulullah berkata, “Lepaskan dia wahai Umar!” maka Umar melepaskan genggamannya. Lalu Rasulullah bertanya, “Hai Umair, apa maksud kedatanganmu kemari?” Ia menjawab, “Wahai Muhammad, kedatanganku ini untuk menebus anakku yang menjadi tawananmu.” Nabi berkata, “Katakanlah sejujurnya, jangan berdusta.” “Benar begitu wahai Muhammad,” jawab Umair.
Sebenarnya Rasulullah sudah mengetahui maksud dan tujuan Umair. Beliau diberi petunjuk oleh Allah. Berulangkali beliau bertanya pada Umair, namun terus saja ia menjawabnya dengan berbohong. Hingga akhirnya, Rasulullah berkata, "Aku tahu apa yang kau bicarakan bersama Shafwan bin Umayyah di dekat Ka’bah. Kedatanganmu kemari untuk membunuhku bukan untuk menebus putramu. Sebagai jaminan Shafwan akan melunasi semua hutangmu dan menjadikan keluargamu bagian dari keluarganya. Bukankah begitu?”
Umair tersentak mendengar penuturan Rasulullah mengetahui tujuan kedatangan ia ke Madinah. Dia sangat bingung dan heran, bagaimana Rasulullah dapat mengetahui niat yang sesungguhnya. Sedangkan tak ada seorangpun mendengarkan percakapannya bersama Shafwan, hanya ada mereka berdua. Dan juga percakapan itu terjadi di Mekkah, jaraknya sangat jauh dari Madinah.
Kemudian Umair termenung. Kebenaran dakwah yang disampaikan Rasulullah selama ini membuatnya yakin bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Seketika itu juga benih kebencian yang ada berubah menjadi kagum terhadap sosok Muhammad. Dan dengan segera Umair mengucapkan dua kalimat syahadat. “Aku bersaksi bahwa sesungguhnya engkau itu Utusan Allah. Sungguh dulu aku mendustakanmu Muhammad.”
“Perkara yang engkau utarakan tadi sungguh tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali hanya aku dan Shafwan. Demi Allah, sekarang aku mengerti dan sangat yakin, bahwa segala apa yang engkau sampaikan adalah benar-benar dari Allah.”
Setelah itu Umair menjadi pembela Islam, dengan sangat gigih ia berjuang di jalan Allah. Hingga Umar bin Khathab pun menjadi sangat menyukainya. “Demi Allah yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya. Sesungguhnya aku lebih suka melihat Babi dari pada Umair kala ia pertama muncul di hadapan kita. Namun sekarang aku lebih suka padanya dari pada sebagian anakku sendiri.”
Posting Komentar
Komentar yang Anda berikan dimoderasi. Jika sesuai dengan ketentuan, maka akan segera muncul.
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik dan santun serta tidak melakukan spamming.